Cair dan Sosialnya Pendidikan 2.0


Ilustrasi (infovark)

Jakarta – Jika selama ini jejaring sosial selalu diidentikkan dengan sesuatu yang ‘cair’, ‘bebas’, ‘tanpa aturan’ dan juga ‘tidak serius’, sebenarnya sebagaimana sifat dan karakteristik media pada umumnya dan media konvensional pada khususnya, ia bisa digunakan untuk kebutuhan dan tujuan apa saja. Termasuk untuk lingkungan dan sektor yang ‘serius’. Salah satunya adalah pendidikan.

Pendayagunaan media digital di dunia pendidikan dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak melesatnya jejaring sosial cukup intensif dengan tingkat pertumbuhan pengguna dan penggunaan dalam kadar yang wajar.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memanfaatkan media ini: menggunakan layanan yang sudah ada (mass services) atau menggunakan layanan yang bisa disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pengguna (customized services). Implementasi pendekatan kedua menggunakan platform terintegrasi dan disediakan oleh penyedia layanan.

Saat ini ada berbagai jenis media sosial mulai dari blog, jejaring sosial (Facebook, Path, Pinterest), widget, podcast, wiki, forum, mailing list, sampai dengan social bookmarking dan dalam berbagai kanal: email, newsletter, situs web, kalendar dan lainnya.

Sebagai ilustrasi, materi pelajaran berbentuk presentasi bisa diunggah ke SlideShare untuk kemudian ditampilkan di situs web pengajar yang bersangkutan. Yang belajar bisa memberikan komentar, sanggahan, maupun pertanyaan langsung di media tersebut.

Praktek penggunaan jenis dan kanal di atas sudah berlangsung sejak lama jauh sebelum istilah jejaring sosial populer di telinga kita dan dengan data bahwa 90% pengguna internet merupakan pengguna media sosial maka sebagian besar pembaca semestinya sudah familiar dengan mass services. Oleh karenanya jenis layanan tersebut tidak akan dibahas lebih jauh pada artikel ini.

Peran mereka adalah menghubungkan para aktor dan pelaku dalam aktivitas belajar mengajar dan didik medidik yaitu pendidik (guru, pengajar, dosen), yang dididik (siswa, murid, pelajar, mahasiswa), jajaran pada struktur organisasi (Kepala Sekolah, Rektorat, Dekanat, Kepala Jurusan dan sebagainya) serta pihak terkait lainnya bahkan sampai dengan calon siswa/mahasiswa baru.

Tujuannya adalah meningkatkan intensitas aktivitas akademik maupun non-akademik di lingkungan institusi pendidikan tersebut, mempererat hubungan antar civitas akademika, membuat proses pembelajaran menjadi bercita rasa lebih sosial dan playful serta meningkatkan kualitas belajar mengajar dan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya.

Penentuan layanan dan platform apa yang digunakan kembali lagi tergantung dari perilaku dan kebutuhan pengguna serta tujuan penggunaan disesuaikan dengan karakteristik media dan kanal yang tersedia.

Apabila ingin digunakan secara strategis dan berkelanjutan, tentunya diperlukan cetak biru oleh institusi pendidikan bersangkutan. Disinilah layanan dengan platform terintegrasi seperti Classroom 2.0, Edmodo, Edutopia, Diipo and Everloop hadir dan akan diperlukan.

Berkembang pesatnya ‘EDUFINDME’ ditanggapi banyak pihak sebagai babak baru kebangkitan jejaring sosial jenis ini. Walaupun baru berdiri 700 sekolah dan universitas sudah bergabung.

Diterjemahkan ke dalam 20 bahasa dan diluncurkan di 12 negara termasuk Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Selatan, sebentar lagi layanan ini akan hadir di kawasan Asia.

Di era Pendidikan 2.0 dimana pendidikan bertali-temali dengan jejaring sosial, kita akan lebih sering menjumpai siswa asyik mengeksplorasi piramida mesir dengan Google Maps, mengunjungi Candi Borobudur lewat Google Earth dan dosen menuliskan artikel serta mengugahnya ke situs wiki. Kesemuanya dilakukan menggunakan komputer ataupun perangkat bergerak.

Dalam penelitian National School Boards Association, mereka menemukan adanya peningkatan tajam atas aktivitas menulis dan kreatif para pelajar di jejaring sosial maupun sebagai dampak positif penggunaan jejaring tersebut.

Sementara itu laporan dari Young Adult Library Services Association juga melansir hal senada. Jejaring Sosial membuat para remaja menemukan caranya sendiri untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis mereka masing – masing.

Beberapa pemandangan ini akan menjadi semakin sering dijumpai di hari- ari ke depan. Semakin banyaknya ketersediaan buku elektronik bermutu untuk diunduh secara gratis, penggunaan tablet untuk membuat catatan perkuliahan, pemanfaatan perangkat bergerak untuk mendengarkan podcast berisi materi kuliah, pendayagunaan situs crowdsourcing untuk penggalangan dana aktivitas kampus, meningkatnya partisipasi pelajar di komunitas online.

Dan kesemuanya dilakukan tanpa terikat sekat ruang kelas serta waktu dimulai dan berakhirnya mata pelajaran.

Sebagaimana diterbitkan di DetikINET: http://inet.detik.com/read/2012/06/19/100915/1944727/398/cair-dan-sosialnya-pendidikan-20