Ilustrasi (Craigpearce)
Jakarta – Bagi kita sebagai individu — dalam kapasitasnya sebagai pribadi — penggunaan media sosial biasanya hanya akan dipagari oleh ‘netiket’ yaitu aturan tidak tertulis atau seringkali dikenal sebagai konvensi, mengenai rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam menggunakan media ini.
‘Tata krama’ ini sedikit berbeda dengan yang berlaku bagi perusahaan. Selain melibatkan banyak departemen, divisi, unit bisnis, entitas atau apapun namanya, juga melibatkan banyak karyawan dan yang lebih penting lagi, menyangkut merek (brand) perusahaan dan unsur finansialnya (nilai ekonomis merek).
Karena penggunaannya tidak sesederhana pengguna pribadi, sejauh yang diamati dan dialami penulis, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi dan perlu dipertimbangkan untuk mengimplementasikan media sosial di korporasi.
Apa media sosial hanya tren sesaat? Angka berikut ini akan berbicara lebih banyak. 150 juta pengguna Twitter dengan 350 juta tweet per hari, 175 juta pengguna LinkedIn, diaksesnya Facebook oleh 560 juta pengguna per harinya, hampir 80 jam video diunggah ke YouTube per menitnya.
Kemungkinan punah tentunya akan selalu ada termasuk bagi media sosial. Namun kini, media sosial sudah berusia lebih dari satu dasawarsa. Dan membahas tentang media sosial berarti membahas tentang platform atau layanan.
Sementara Twitter dan Facebook, merupakan merek dari penyedia platform atau layanan. Media akan bersifat lebih kekal. Di sisi lain, jika kondisi force majeure terjadi, dimana penyedia layanan tutup disebabkan oleh satu dan lain hal, mereka sudah menyiapkan diri dengan fitur untuk memindahkan konten dari satu platform ke platform lainnya.
Media sosial hanya cocok bagi bisnis konsumer. Pada beberapa artikel sebelumnya telah dibahas mengenai keberhasilan penggunaan media ini untuk bisnis dengan model Business-to-Business (B2B).
Karakteristik perusahaan yang bergerak di wilayah ini memahami pelanggannya lebih baik (karena segmentasi), memiliki pengetahuan produk lebih mendalam (karena siklus penjualan yang panjang), dan selalu menjaga dan mempererat hubungan bisnis dengan lebih intens.
Tren kelahiran social network for business atau social network for enterprise jelas menyiratkan sinyalemen bahwa ranah B2B memiliki potensi yang sangat menjanjikan.
Aktivitas yang menghabiskan waktu belaka. Setiap media, baik digital maupun non-digital, bersifat bagaikan dua sisi koin uang. Bisa digunakan untuk menghabiskan waktu (killing time), menghemat waktu (saving time) maupun berinvestasi pada waktu (investing in time).
Selain tergantung dari tujuan penggunaaan, faktor penentu lainnya adalah siapa/pihak mana yang menggunakan. Apabila kita dapat menyakinkan pemilik dan atau pihak manajemen mengenai manfaat media ini lewat studi kasus di perusahaan lain pada bidang industri yang sama, implementasi tinggal menunggu waktu saja.
Terlalu ‘liar’ sehingga sulit bahkan tidak bisa dikendalikan. Mayoritas perusahaan masih melihat media sosial sebagai jenis media baru yang sulit dikendalikan.
Terlalu bebas, terlalu demokratis, sulit diprediksi. Kenyataannya, saat ini dengan semakin kuat dan berpengaruhnya internet, era dimana perusahaan dapat mengendalikan mereknya secara penuh sudah berakhir. Hak ‘istimewanya’ tersebut nyaris hilang.
Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah terjun ke media sosial, menjalin percakapan dengan audiens dan membina hubungan yang lebih hangat dengan para pengguna, pembeli dan konsumennya, sehingga perusahaan dapat meningkatkan kendali atas merek yang dimilikinya.
Salah postingan bisa menjadi bumerang. Tentu saja premis ini tidak bisa disangkal. Mistyping dan twit spontan seringkali mengakibatkan tidak akuratnya informasi yang disampaikan. Jangka panjangnya hal ini akan menimbulkan reaksi negatif, protes berkepanjangan serta berdampak buruk pada nilai sebuah merek.
Biasanya, ini akan menjadi justifikasi bagi perusahaan untuk melarang karyawannya — menggunakan akun media sosial mewakili perusahaan — maupun memperketat kebijakan media sosialnya.
Sisi positifnya adalah, dengan kehadiran merek di media sosial, mereka bisa segera cepat bereaksi, melakukan ‘counter‘, melakukan klarifikasi atau merevisi pernyataannya sehingga opini dan persepsi publik bisa diluruskan. Reputasi perusahaan juga bisa diselamatkan.
Risiko atas pelanggaran hukum. Departemen marketing terutama marketing communication dan public relation serta departemen legal perlu diikutsertakan dan terlibat secara aktif dalam penyusunan cetak biru, kerangka dan kebijakan media sosial, termasuk manajemen resiko.
Kita sadar betul bahwa resiko akan selalu ada. Yang perlu dilakukan adalah mengelolanya sedemikian rupa sampai tingkat minimal dengan berbagai cara yaitu mengambil, memitigasi, memindahkan maupun menghindari resiko.
Kepatuhan terhadap peraturan perusahaan. Dengan partisipasi dari kedua departemen diatas, maka seharusnya apa yang disusun, baik cetak biru sampai dengan rencana tindakan, akan melindungi rahasia dapur perusahaan, memenuhi asas kepatuhan serta menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum.
Tidak adanya personel yang mumpuni. Kesenjangan kompetensi bisa diatasi dengan program pelatihan bagi staf yang terlibat. Bentuk pelatihan bisa bersifat teknis yaitu bagaimana mengelola berbagai jenis akun seefektif dan seefisien mungkin, dengan memahami tujuan, strategi dan perencanaan media sosial perusahaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Terlalu jauhnya kesenjangan kemampuan bisa dipecahkan melalui perekrutan staf dengan skillset yang sesuai. Jumlah sumber dayanya tinggal disesuaikan dengan intensitas dan kompleksitas eksekusi dan implementasi media sosial di perusahaan.
(Kredit: Farenheit Marketing)
Aktivitas: biaya atau investasi? Apabila sudah diputuskan akan menggunakan media sosial secara komprehensif, maka indikator finansial Return On Investment (ROI) dapat dihadirkan kepada pihak manajemen.
Secara sederhana, tolak ukur ini berpijak kepada formula: (manfaat-biaya)/biaya. Menghitung biaya secara kasat mata jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengkalkulasi manfaat.
Perlu diingat, apabila salah satu tujuan perusahaan dengan media ini adalah mendapatkan ‘lead‘, bukan sekadar berpromosi dan melayani pelanggan, maka sangatlah teramat wajar untuk mengakomodasinya sebagai salah satu komponen manfaat. Ini bisa menjadi kartu As.
Bervariasinya keinginan berbagai departemen. Fenomena ini, dan yang sebaliknya, yaitu timbulnya kebingungan departemen mana yang harus mengelola dan bertanggung jawab atas eksekusi, sangatlah umum dijumpai.
Sebagai sesuatu yang relatif baru, pembentukan tim lintas departemen/divisi berisi staf media sosial dan dipimpin oleh community manager sebagai titik sentral serta pusat koordinasi aktivitas maupun pendirian dewan media sosial (social media council) patut dipertimbangkan.
Wacana rekrutmen karyawan untuk tim sosial media atau melakukan alih daya (build versus buy) bisa menjadi perdebatan cukup sengit dan panjang.
Apabila mayoritas persepsi negatif — sebagaimana sudah disampaikan di atas — bisa diluruskan, maka bersiaplah untuk menyusun cetak biru, kebijakan, panduan, maupun perencanaan media sosial bagi perusahaan kita.
Let’s get it on!
Sebagaimana dimuat di detikINET: http://inet.detik.com/read/2012/11/21/091515/2096611/398/tantangan-ketika-perusahaan-terjun-ke-media-sosial